Jumat, 26 Juli 2013

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD ABDUH

oleh :
Dwi Ekarsi Wulandari – Tarbiyah  - 


PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD ABDUH

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukan adalah masuk dalam kategori pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan wujud ideal Islam, seorang guru dan pendidik.
Kemudian sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa pendahulu, masa keemasan Islam dan masa pembaharuan banyak bermunculan berbagai pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya ulama–ulama Islam yang menulis tentang buku pendidikan dan pengajaran secara mendalam.
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam.
Muhammad ‘Abduh adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam situasi, dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir. Pada masa Muhammad ‘Abduh itu, ada dua golongan ekstrim: mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan pembaharuan yang murni merujuk pada Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam.

Muhammad ‘Abduh termotivasi untuk ikut memberikan respons dan mengadakan perbaikan di berbagai bidang, terutama pendidikan. Pendidikan bagi Muhammad ‘Abduh sangatlah penting, sampai-sampai ia memposisikan gurunya lebih "mulia" dari orang tuanya.
Beliau pernah berucap, "Orang tuaku memberikan aku dua orang teman (saudara) hidup: Ali dan Mahrus. Sedangkan guruku Jamaluddin al-Afghani memberikan "teman" hidup: Muhammad SAW., Ibrahim, Musa, Isa, para wali, dan orang-orang suci."

B. Riwayat Hidup Muhammad ‘Abduh 
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di sebuah kampung bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit, provinsi Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1849 M./1266 H. Ayahnya berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sedangkan ibunya adalah orang Arab, yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin Khattab ra.
Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di rumah.Setelah beliau hapal kitab suci Al-qur’an pada tahun 1863 ayahnya mengirimnya ke Thamta untuk meluruskan bacaan dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di mesjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak  kita untuk menghapal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.” Inilah salah satu yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan.
Sayyid Qutub mengambarkan situasi dan kondisi masyarakat tempat Muhammad ‘Abduh hidup sebagai masyarakat yang kaku, beku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal dalam memahami syari'at. Sementara, di Eropa khususnya, kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal, terlebih setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.
Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Tiga tahun kemudian, ketika Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir tahun 1871 M, Muhammad ‘Abduh giat belajar dan mendengar segala ide pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah seseorang yang aktif memberikan dorongan kepada murid-murid untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. ‘Abduh memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik. Muhammad ‘Abduh bekerja sama dengan Afghani untuk mengadakan pembaharuan terhadap Islam melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa.
‘Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899 M. 
Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya.












II. PEMBAHASAN
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ‘ABDUH

Mayoritas peneliti sepakat bahwa Muhamamd Abduh adalah seorang reformis atau pembaharu pendidikan Islam. Sebagai seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan merupakan elemen penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan martabat yang telah lama hilang. Muhammad ‘Abduh ingin berperan di dalam kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam oleh badai keterbelakangan. Ia melihat bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”, tetapi bukan setiap pendidikan, melainkan pendidikan yang berasaskan referensi keagamaan Islam
A.  Latar belakang pemikiran pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh

Kemunduran Islam
Muhammad ‘Abduh berpandangan bahwa penyakit yang melanda negara-negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran agama di kalangan umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan adanya tuntutan dunia Islam modern. Selama beberapa abad di masa silam, kaum Muslimin telah menghadapi kemunduran dan umat Islam tidak mendapatkan dirinya siap sedia untuk menghadapi situasi yang kritis ini.
Menurutnya, yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. Jumud yaitu keadaan membeku/statis, sehingga umat tidak mau menerima perubahan, yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini (al-Jumud ‘illatun tazawwul). Seperti dikemukakan ‘Abduh dalam al-Islam baina al-’Ilm wa al-Madaniyyah, ia menerangkan bahwa sikap jumud dibawa ke tubuh Islam oleh orang-orang yang bukan Arab, yang merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka juga membawa faham animisme, tidak mementingkan pemakaian akal, jahil dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Rakyat harus dibutakan dalam hal ilmu pengetahuan agar tetap bodoh dan tunduk pada pemerintah. Keadaan seperti ini, menurutnya adalah bid’ah. Masuknya bid’ah ke dalam tubuh Islam-lah yang membawa umat lepas dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Untuk menyelesaikan masalah ini, ‘Abduh, sebagaimana Abdul Wahhab, berusaha mengembalikan umat seperti pada masa salaf, yaitu di zaman sahabat dan ulama-ulama besar. Namun, yang membedakan faham ‘Abduh dengan Abdul Wahhab adalah umat tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli itu saja, tetapi ajaran-ajaran itu juga mesti disesuaikan dengan keadaan modern sekarang ini.
Orientasi pembaharuan pendidikan ala Barat
Kontak kebudayaan antara Mesir dan kebudayaan yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte menimbulkan kesadaraan umat Islam bahwa mereka telah tertinggal jauh dari Eropa. Kesadaran ini menimbulkan berbagai pergerakan pembaharuan dari kalangan umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali Pasya.
Setelah Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, ia tidak mengalami kesukaran dalam merealisasikan konsep pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan. Sebagai penguasa Mesir, ia mengirim orang-orang Mesir untuk menuntut ilmu ke Eropa, terutama ke Paris. Sementara di Kairo sendiri, didirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer, teknik, kedokteran, apoteker, pertanian, dll. Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammad Ali ini berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh dari ruh Islam, karena mengenyampingkan pendidikan Islam. Sementara di Al-Azhar, sebagai benteng pendidikan ke-Islaman, terus bersikeras pada corak tradisionalnya. Realitas ini menyebabkan adanya dualisme pendidikan di Mesir.
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhammad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali dan masing-masing berdiri sendiri. Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
B.  Pembaharuan pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh
Salah satu proyek terbesar Muhammad ‘Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan. 
Muhammad ‘Abduh melihat adanya segi-segi negatif bentuk pemikiran yang muncul dan ia mengkritik kedua corak lembaga pendidikan yang berkembang di Mesir saat itu. ‘Abduh memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. Sementara pola fikir yang kedua, Muhammad ‘Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tanpa nilai “religius” merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Maka muncul Ide untuk menyelaraskan atau memperkecil dualisme pendidikan ini. Ia berupaya untuk menjadikan dua pola pendidikan tersebut dapat saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Dalam upayanya membenahi sitem pendidikan terutama di Mesir, Muhammad ‘Abduh mengadopsi pemikiran teman sekaligus mentornya Jamaluddin Al-Afghani. Ia cenderung menggunakan metode –metode yang didasarkan pada filsafat rasionalis. Pendidikan agama yang berkaitan dengan tauhid dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nalar, seperti yang diperolehnya dari Al-Afghani. Hal ini berbeda jauh dengan metode yang sudah mapan dilakukan di Mesir yaitu metode hafalan.
Muhammad ‘Abduh juga tidak segan-segan memasukkan materi pendidikan Barat dalam kurikulum dipadukan dengan pendidikan Islam. Sebagai contoh ; ia memasukkan pelajaran Sejarah Kemajuan Eropa dan Prancis karangan Guizot. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad ‘Abduh dalam kurikulum Al-Azhar diniatkan sebagai contoh bagi perguruan Islam lain di dunia sebab Al-Azhar adalah lambang pendidikan dunia Islam
Gibb melalui Modern Trends in Islam menjelaskan bahwa menurut Muhammad ‘Abduh ada empat agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan Islam, yaitu:
1.      Purifikasi : Pemurnian ajaran Islam mendapat perhatian serius dari Muhammad ‘Abduh berkaitan dengan munculnya bid'ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama umat Islam.
2.      Reformasi : Muhammad ‘Abduh, dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada universitas almamaternya, Al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu agama untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.
Nurcholish Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi Muhammad ‘Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang diharapkan dapat hidup kembali.
3.      Pembelaan Islam: Muhammad ‘Abduh, melalui Risalah Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4.      Reformulasi : Agenda ini dilaksanakan Abduh dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat Islam disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.
Langkah yang ditempuh Muhammad ‘Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menyelaraskan dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini dilakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usahanya tersebut, maka didirikanlah suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.
Dalam pandangan Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka pintu ijtihad, kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus dimajukan di kalangan rakyat hingga mereka dapat berlomba dengan masyarakat Barat. Karena jika Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan difahami secara benar, tidak satu pun dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan
Langkah-langkah memberdayakan sistem Islam untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pendidikan  yang dilakukan Muhammad ‘Abduh antara lain:
a.      Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Dalam memberdayakan pendidikan Islam, Muhammad ‘Abduh menetapkan tujuan pendidikan Islam yang dirumuskannya yakni : mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad ‘Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Jadi adanya keseimbangan antara akal dan spritual.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk - antara membawa kemaslahatan dan kemudaratan. Dengan hal ini, ia berharap kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat terkikis. Baginya, perbuatan manusia bertolak dari konklusi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas memilih perbuatan.
Dalam Risalah Tauhid-nya, ia menjelaskan bahwa yang mendukung suatu perbuatan manusia adalah akal, kemauan dan daya. Penggabungan dengan tujuan spiritual (afektif), diharapkan dapat melahirkan generasi baru yang berintelektual tinggi, berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan berjiwa bersih. Sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan.
Menurutnya, apabila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan bangkit dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya.

b.      Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhammad ‘Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, dimana mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung serta pendidikan agama.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan, maka Abduh membentuk seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai tingkat atas.
1.      Tingkat Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai dari usia dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata pelajaran agama dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, manusia - khususnya rakyat Mesir pada waktu itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat membangkitkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
  1. Tingkat Atas
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan Abduh adalah dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan, seperti administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dll. Melalui lembaga pendidikan ini, ia merasa perlu memasukkan materi pelajaran agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Di madrasah-madrasah yang berada dalam naungan Al-Azhar, ia memasukkan pelajaran mantik, falsafah, dan tauhid. Sebelumnya, Al-Azhar menganggap pelajaran falsafah dan mantik adalah pelajaran yang haram diajarkan dan dipelajari. Sedangkan di rumahnya, ia mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu Miskawaih, dan buku sejarah peradaban Eropa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, dengan judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Arabiah.
Kurikulum tingkat ini meliputi, antara lain:
1.      Buku yang memberikan pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran.
2.      Teks tentang doktrin, yang menyampaikan soal-soal seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindarkan konflik, dan keefektifan doktrin Islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akherat.
3.      Teks yang menjelaskan mana yang benar dan salah, penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin.
4.      Teks sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam.
Sementara untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu orientasi untuk guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup : (1) tafsir al-Qur’an (2) ilmu bahasa dan bahasa Arab (3) ilmu hadis (4) studi moralitas (etika) (5) prinsip-prinsip fiqh (6) seni berbicara dan meyakinkan; dan (7) teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.
Kurikulum tersebut merupakan gambaran umum dari kurikulum yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan, ia menghendaki - bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyaraka, seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah & militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Langkah ini merupakan metode Muhammad ‘Abduh dalam mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
Pembaharuan Universitas Al-Azhar
Al-Azhar mulai dikenal pada masa dinasti Fatimiyah menguasai Mesir. Tepatnya pada tahun 359 H/970 M, Khalifah al-Muiz Lidinillah (341 – 365 H / 953 – 975 M) memerintahkan panglima Jauhar al-Katib as-Siqili agar meletakkan batu pertama bagi pembangunan Masjid Jami’ Al-Azhar yang selesai pembangunannya pada tahun 361 H / 971 M.
Semula ide para penguasa daulah Fatimiyah untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar di Al-Azhar adalah karena dorongan kepentingan madzhab, namun gagasan ini kemudian berkembang sehingga lembaga pendidikannya berubah menjadi sebuah perguruan tinggi.

Pada masa Muhammad ‘Abduh berkarir di Al-Azhar, Universitas ini dikuasai oleh ulama-ulama konservatif yang membawa Al-Azhar terjebak dalam dikotomi ilmu pengetahuan, dimana mereka lebih puas pada pendalaman ilmu agama dengan supremasi fiqih tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain.
Kondisi Al-Azhar tersebut, menggugahnya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Ia meyakini bahwa apabila Al-Azhar diperbaiki, kondisi umat Islam akan baik - sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin.

      Usaha Muhammad ‘Abduh memajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
  • Memasukkan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa kedalam Al-Azhar.
  • Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
  • Menghidupkan metode munazaroh (discussion) sebelum mengarah ke taqlid
  • Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa empat tahun pertama.
  • Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhammad ‘Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal, namun telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Pemikiran beliau tentang pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan Islam diawal abad ke-20. Pemikiran yang kemudian disebarluaskan melalui tulisannya di majalah al-Manar dan al-Urwat al-Wusqa sempat menjadi rujukan para pembaharu di dunia Islam. Di berbagai Negara Islam muncul gagasan untuk mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis oleh Muhammad ‘Abduh

KESIMPULAN
Muhammad ‘Abduh adalah sosok pembaharu Islam abad 19 / 20 yang mengusung rasionalitas dalam beragama. Beliau ingin menghilangkan kejumudan dalam pendidikan dengan mendidik akal dan jiwa dengan harapan akan ada keseimbangan dalam hidup dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Di samping hidup berwibawa dengan akal yang cerdas, umat Islam juga berperilaku baik yang sesuai dengan ajaran syari'at. Untuk mencapai tujuan demikian, maka ia menggagas kurikulum berbasis sains dan falsafah yang banyak menggunakan akal, dan tanpa meninggalkan pelajaran-pelajaran yang bersifat agamis.

Pemikiran Muhammad ‘Abduh tentang pendidikan dinilai telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam sehingga dianggap sebagai awal dari kebangkitan Pendidikan Islam diawal abad ke-20.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. IX,
2.      Suwito dan Fauzan.2003 Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa





1 komentar: